Sabtu, 27 Juni 2020

Berqurban Bukti Manisnya Iman

Berqurban Bukti Manisnya Iman

Oleh Okik Hadi Saputro, S.Pd.

Ada yang mengatakan bahwa kehidupan di dunia ini adalah panggung sandiwara, dimana manusia adalah aktor dan Dia sebagai sutradaranya. Terlepas benar tidaknya, Itu sah-sah saja, karena Dia yang menciptakanya dengan sebaik-baik bentuk, dengan sesempurna ciptaan, dibekali akal sebagai pembeda dengan makhluk lainnya. Dengan kekuasaanNya, Dia membentangkan bumi dan jadilah bumi tersebut sebagai alas bagi manusia, mengokohkannya dengan gunung-gunung yang besar, menegakkan di atasnya langit tak bertiang, menerbitkan bintang-bintang sebagai penunjuk arah ketika mengarungi gelapnya laut dan daratan. Menjadikan bulan terang benderang dan matahari laksana pelita. Kemudian Dia memberikan rasa, emosi dan nilai sebagai hiasan dalam kehidupannya. 

Meskipun diciptakan dengan sempurna, tetap saja lemah, karena begitulah hakikatnya. Salah dan lupa menjadi ciri khasnya, dengan akalnya yang terbatas dipaksa untuk berpikir dan bekerja lebih keras dari biasanya, dihadapkan dengan berbagai pilihan dalam berbagai persoalan untuk membuatnya tampil lebih dewasa dalam menyikapinya. Salah satunya adalah berkorban, mengapa berkorban rasanya hal yang paling sulit dilakukan, terkadang berkorban bukan hanya harta, tapi perasaan. Harta bisa dicari tapi perasaan mudah luka dan terkadang membekas sampai selamanya. Apakah saat ini kita merasa harus memilih salah satu diantara dua, sehingga salah satu harus ada yang dikorbankan, atau pernahkah kita dihadapkan pada hal yang kita kasihi dan harus kita lepaskan, artinya berkorban. Dan kenapa seringkali hal yang harus kita korbankan itu adalah hal yang paling penting dalam hidup kita? Jawabannya adalah karena kalau kita berkorban hal yang tidak penting, bisa dikatakan itu bukan berkorban namanya, tapi itu hal biasa saja yang tak berarti dan tak bermakna.

Jadi, ketika kita harus berkorban, apakah kita harus melakukannya?

Adalah dia, manusia pilihan, Ibrahim, yang hidup di lembah Bakkah, tandus, dan ditemani dengan penantian yang hampir tak kunjung datang, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun ia lewati dengan usaha dan bermunajat kepada Sang Pemberi untuk dikaruniai sang buah hati yang selama ini dinanti-nanti. Usaha tidak mengkhianati hasil, lahirlah bayi mungil merah, Ismail namanya. Bayangkan bagaimana berkecamuk perasaan sang malaikat tak bersayap (Hajar) yang ditinggalkan berserta bayi merah di tempat yang harapan hidup dalam nalar manusia sungguh nihil kiranya. Dengan kekuatan keimanan dalam hatinya bahwa itu adalah perintah Penggeggam Alam Semesta, maka ia tenang dan yakin tidak akan disia-siakan dirinya dan penyejuk hatinya. 
Duka Ibrahim pun berulang, ketika buah hatinya yang dinanti hingga menua harus ditinggalkan, kemudian ketika dia tumbuh gagah membanggakan lalu harus diqurbankan, disembelih. Ia dan kebanggaan hatinya tidak ragu untuk melaksanakan perintah Sang Pemilik Kehidupan. Maka itu, adalah buah dari manisnya keimanan, Adalah cinta pada Rabb semesta alam diatas segalanya. 

Berqurban Bukti Manisnya Iman